Perlawanan Kolonialisme di Sumatera Barat
SUMATERA BARAT
- Pendahuluan
Perang melawan
kolonialisme di daerah minang kabau bermula dari pertentangan antara dua pihak
dalam masyarakat, dan sering dinamakan gerakan padre yang mulai pada awal abad
ke 19. Tujuannya adalah untuk memurnikan ajaran agama islam, membasmi adat dan
kebiasaan yang bertentangan dengan alquran dan sunah nabi. Arti istilah padre
tidak begitu jelas pengikut-pengikutnya mamakai pakaian jubbah putih, sedangkan
kaum adat memakai pakaian hitam.
Perkembangan yang kemudian tampak di minangkabau adalah
timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk, sedangkan para pembesar tak mampu
menghalangi, bahkan turut menjalankan kebiasaan buruk, yaitu menyabung
ayam,mandate,berjudi,dan minum-minuman keras. Menghadapi keadaan ini kaum ulama
atau padrei mulai mengadakan reaksi sehingga gerakannya lalu dikenal dengan
gerakan padri. Kaum padre ingin memperbaiki keadaan rakyat dengan cara
mengembalikan pada ajaran islam yang murni.
Pada akhir abad 18, seorang ulama dari kampong kota tua
(daerah cangking, empat angkat) didataran agam, yaitu tuan ku kota tua, mulai
mengjarkan pembaruan-pembaharuan. Beliau mengajarkan bahwa masyarakat sudah
terlalu menjauh menyimpang dari ajaran islam yang murni. Diantara murid tuanku
kota tua, adalah tuankunam renceh dari kampong bansa di kamang. Tuanku nan
renceh mengajak tuanku-tuanku di luhak. Untuk membentuk persekutuan kaum adat.
Delapan orang ulama itu adalah tuanku nan renceh, tuanku lubuk aur, tuanku
berapi, tuanku padang lawas, tuanku padang luar, tuamku galung, tuanku biaro
dan tuanku kapau. Mereka mendapat julukan “harimau nan selapan.
Sementara itu pimpinan adat tertunggi di lembahan panjang
adalah datuk bandaro yang setuju dan menerima pembaharuan bersama kaum adat
lainya, sementara ada kelompok yang tidak setuju yang dipimpin oleh datuk
sakti. Ketika datuk bandoro meninggal karena terkena racun, ia digantikan oleh
Muhammad syahab atau pelo (pendito) syarif yang kemudian di kenal dengan tuanku
imam bonjol. Yang lahir pada tahu 1774. Pertempuran antara kaum padre dan kaum
adat meletus di tanah datar, dalam
pertempuran ini kaum ada terdesak sehingga pengaruh kaum padre semakin meluas.
Setelah perjanjian London 1824, langkah belanda tidak semata-mata di tujukan
untuk melawan kaum padre, akan tetapi lebih banyak di tunjukkan untuk
menanamkan kekuasaanya.
- Jalannya perang
Peperang ini
dapat di bagi dalam tiga masa. Masa pertama berlangsung antara 1821-1825,
ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat ke seluruh minang kabau. Masa kedua
adalah antara tahun 1825-1830, ditandai dengan meredahnya pertempuran karena
belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan kaum padre yang mulai melemah.
Masa ketiga antar`1830-1838, ditandai dengan perlawanan padre yang meningkat
dan penyerbuan belanda secara besar-besaran kemudian diakhiri dengan
tertangkapnya pemimpin-pemimpin padre.
Kaum padre mulai
bergerak menyerang pos-pos belanda dan melakukan pencegatan terhadap pasukan
patrol mereka. Dari beberapa pertempuran yang terjadi terlihat bahwa pasukan
kaum padre cukup kuat dan terpencar di daerah-daerah, kelemahan pasukan belanda
di berbagai daerah pertempuran membawa akibat semakin luasnya perlawana kaum
padri. Melihat situasi perang tersebut tampak jelas bahwa kedudukan belanda di
sumatera barat cukup sulit. Pertempuran yang terjadi di sekitar jurang antara
mantua dan agam pada 10 september 1833 membawa kekalahan pada pihak kaum padri.
Meskipun demikian penyerangan-penyerangan pasukan padre pada pos-pos maupun
benteng-benteng belanda masih terus dilakukan.
- Akhir perang
Baru pada akhir
tahun 1834 belanda dapat memusatkan kekuatan nya untuk menyerang bonjol,
setelah jalan-jalan yang menghubungkan bonjol dengan daerah pantai dikuasai
oleh belanda. Pada akhir September 1834 pasukan belanda menyiapkan pasukan
besar untuk menyerang bonjol. Pada tanggal 18 februari 1835 tuanku imam bonjol
menyatakan kepada residen belanda di padang kesediaannya untuk melakukan
gencatan senjata.
Untuk sementara waktu aktivitas gerakan
pasukan belanda di hentikan setelah adanya perjanjian gencatan senjata itu.
Pada tanggal 10 agustus 1837 tuanku imam bonjol menyatakan bersedia lagi untuk
mengadakan perundingan damai. Belanda mengharap bahwa perundingan tersebut akan
di ikuti dengan persadiaan tuanku imam bonjol untuk menyerah. Tetapi belanda
menduga bahwa kesedian tuanku imam bonjol tersebut untuk menatur siasat guna
menggalilubang yang menghubungkan dalam dan luar benteng.
Akhirnya
pertempuran terjadi pada bulan oktober 1837 pengepungan dilakukan oleh
pasukan-pasukan belanda terhadap benteng bonjol. Akhirnya benteng bonjol yang
dipertahankan olah kaum padre dengan sekuat tenaga dapat dimasuki oleh pasukan
belanda. Akhirnya tuanku imam bonjol dan pasukan padre menyerah, tuan ku
imambonjol kemudian di buang ke cianjur jawa barat. Pada tanggal 19 januari 1839
di buang ke ambon. Pada tahun 1841 di pindahkan ke manado dan meninggal disana
pada tanggal 6 november 1864.
4.
Kesimpulan
Perang padre merupakan perang yang awalnya akibat
pertentangan masalah agama sebelum berubah menjadi perang melawan belanda. Perang
padre di laterbelakangi oleh tiga orang haji dari mekah sekitar tahun 1803 itu
H. miskin, H. sumanik, H. piobang, yang ingin memperbaiki syariat islam yang
belum sempurna atau blum benar yang di jalankan di daerah minagkabau.
Karena perselisihan tidak bisa terselesaikan akhirnya
pada 1815 kaum padre di pimpin oleh tuanku pasaman menyerang kaum adat sehingga
kaun adat kalah dan mundur, pada 21 februari 1821 kaum adat yang dipimpin
sultan tangkal meminta bantuan kepada belanda, sehingga pada 4 maret 1822
pasukan belanda yang di pimpin let kol raff berhasil memukul mundur kaum padre
keluar dari pagaruyung. Perlawan yang terus dilakukan kaum padre yang sangat
menyulikan belanda sehingga belanda mengajak kaum padre yang dipimpin tuanku
imam bonjol untuk berdamai dengan melakukan “perjanjian masang” pada 15
november 1825.
Sejak 1833 mulai muncul kompromi antara kaum adat dan
kaum padre mereka sadar mengundang belanda justru menyengsarakan masyarakat
minagkabau selama hampir 20 tahun. pada 10 september 1834 belanda melakukan
penyerangan kebentang bonjol, taktik perang gerilya yang diterapkan kaum padre
mampu memperlambat laju serangan belanda. Pada 10 agustus 1837 tuanku imam
bonjol menyatakan damai dan bersedia untuk melakukan perundingan, namun belanda
menganggap itu siasat dari imam bonjol dan kaum padre. Akhirnya pertempuran
terjadi pada 0ktober 1837, dan akhirnya benteng bonjol yang di pertahankan
berhasil dimasuki pasukan belanda. Dan pasukan padre dan tuanku imam bonjol
menyerah kemudian imam bonjol di buang ke cianjur.
0 Response to "Perlawanan Kolonialisme di Sumatera Barat"
Post a Comment